Toxic Positivity, Si Positif yang Ternyata Jadi Racun
14 June 2021
Setiap orang pastinya pernah dong merasa not okay? Bisa jadi harimu jadi buruk gara-gara mengalami masalah di keluarga atau berantem dengan pacar. Saat lagi bad mood atau tertimpa masalah, mindset berpikiran positif memang perlu. Dengan begitu, kamu jadi lebih bisa berpikir jernih buat menyelesaikan masalah tersebut. Tapi, berpikiran positif ternyata juga bisa jadi bumerang, lho. Kata “toxic positivity” pastinya nggak terdengar asing di telingamu, kan? Belakangan ini, istilah satu itu memang sering banget diomongin. Bagaimana sesuatu yang harusnya positif ternyata justru bisa jadi racun? Simak ulasan lengkapnya di sini.
Apa sih yang Disebut Toxic Positivity
Toxic positivity adalah sikap seseorang yang terlalu memaksa orang lain yang terkena masalah untuk tetap positif. Sedangkan, yang bersangkutan bahkan nggak ingin berusaha memahami posisi dari penerima nasehat. Jadi, seakan-akan emosi atau pengalaman negatif yang dirasakan teman atau kerabatnya tersebut nggak penting buat dia. Nah, kebanyakan orang nggak sadar kalau ternyata ucapan-ucapan positif itu bisa bikin kita jadi makin down. Bahkan, itu bisa merugikan kesehatan mental mereka dalam jangka panjang.
Saat mengucapkan kata-kata positif itu, tentunya kata tersebut nggak bermaksud jelek. Tapi, ucapan-ucapan positif tersebut tentunya nggak berarti jika mereka nggak benar-benar berempati pada penerima nasehat. Nggak semua orang curhat buat mencari solusi, lho. Kita juga sebenarnya nggak ingin disemangati, kok. Malah, kebanyakan orang curhat cuma ingin didengarkan saja. Kita juga cuma butuh perasaan atau emosi negatif yang kita rasakan divalidasi. Sedangkan, menyuruh untuk tetap bersikap positif berarti menafikkan kebutuhan kita untuk didengarkan dan diakui.
Apa Dampak Negatif dari Toxic Positivity
Semua hal yang berlebihan memang nggak baik. Termasuk, bersikap positif atau kasih nasehat positif yang berlebihan ternyata juga berdampak negatif buat kesehatan mental orang lain. ini nih efek toxic positivity yang harus kamu waspadai:
Denial atau Menyangkal Emosinya Sendiri
Pada dasarnya, emosi negatif atau positif sebenarnya adalah hal yang alami. Sayangnya, masyarakat kita cuma menerima ekspresi emosi positif saja. Padahal, sebagai manusia sudah pasti kita punya emosi yang kompleks. Ketika kita terlalu sering mendengar nasehat-nasehat positif yang sebenarnya nggak dibutuhkan, lama-kelamaan kita bakal terbiasa menyangkal emosi kita sendiri. Saat marah, kita jadi berusaha supaya memendam atau menyangkal rasa marah tersebut. Begitu juga saat kamu lagi putus asa, sedih, dan emosi negatif lainnya. Padahal, menangkal emosi nggak akan menyelesaikan masalah, lho. Yang ada, kamu justru merasa frustasi gara-gara emosi yang berusaha kamu buang itu tetap kembali.
Punya Ekspektasi yang Nggak Realistis buat Diri Sendiri
Saat kata-kata yang bermuatan toxic positivity sering banget dilontarkan, kita juga jadi berekspektasi yang nggak realistis. Seringkali, itu gara-gara kita nggak mau dianggap “kurang bersyukur”, “cengeng”, dan lain sebagainya. Akibatnya, kita jadi belajar buat mengesampingkan emosi-emosi yang sebenarnya normal dan wajar banget dirasakan dan diekspresikan. Kita pun jadi belajar buat menuntut diri supaya lebih “tabah” dan “tegar”. Padahal, akuilah! Pasti ada kalanya kita ingin mengeluh atau menangis keras. Karena ekspektasi diri yang berlebihan itu, kita jadi rentan menyalahkan diri saat emosi tersebut muncul. Di saat yang sama, curhat ke orang lain pun cuma bakal bikin kita makin broken dan makin disalahkan. Kita pun jadi lebih rentan terkena depresi.
Kesulitan Mengekspresikan Emosi Negatif
Nah, ini nih dampak toxic positivity yang nggak kalah gawat. Orang-orang yang terlalu sering dituntut buat berpikiran positif, bersyukur, dan lain sebagainya biasanya bakal mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi negatif. Soalnya, kita tumbuh cuma dari mempelajari bahwa hanya emosi positif aja yang diapresiasi. Sedangkan, kita cuma disuruh bersabar dan pasrah saat merasakan emosi negatif. Ya, seperti yang kamu, tahu, itu pun bukan hal yang gampang. Makanya, nggak kaget kalau alih-alih jadi pribadi yang benar-benar tegar dan penyabar, kita justru jadi sering mengalami kesulitan buat mengekspresikan emosi. Rasa marah yang meledak-ledak misalnya, jadi salah satu tanda kalau kita alami kesulitan buat mengekspresikan emosi negatif. Masalahnya, ini bisa berkembang jadi hal yang lebih destruktif. Misalnya, kamu jadi punya tendensi merusak barang atau menyakiti diri sendiri saat sedang marah atau sedih.
Menyembunyikan atau Memendam Perasaan
Sering merasa dongkol saat lagi down justru jadi makin nggak karuan setelah dapat “nasehat positif” dari keluarga atau teman dekat? Toxic positivity juga bisa lho bikin kamu jadi merasa dihakimi, sehingga ujung-ujungnya kamu jadi ogah mengungkapkan perasaan. Padahal, perasaan yang dipendam bisa berdampak buruk buat kesehatan fisik dan psikis kamu. Jangan salah, itu bisa berdampak ke orang-orang terdekat kamu juga.
Contoh Toxic Positivity
Biarpun merugikan banget, hampir setiap orang punya peluang buat melontarkan toxic positivity. Biasanya, karena mereka bisa aja sebetulnya nggak bermaksud buat bikin kita makin down. Atau kadang-kadang, bukan cuma mereka tapi kita sendiri juga nggak sadar pernah menyebarkan toxic positivity pada orang lain. Apa saja sih contoh toxic positivity?
Contoh kata-kata yang bermuatan toxic positivity antara lain:
“Jangan menyerah, dong. Kamu pasti bisa melakukannya”: Sekilas, kalimat ini memang terasa seperti sedang menyemangati. Tapi, kalau ini diucapkan pada orang yang baru saja mengalami kegagalan, bisa bikin dia makin down. Apalagi, kalau dia sudah berusaha secara maksimal tapi ternyata masih gagal juga. Menantang diri kembali itu memang boleh-boleh aja. Tapi, nggak ada salahnya kok buat merasa sedih atau frustasi gara-gara merasa gagal.
“Semua hal pasti ada sisi positifnya”: Memang iya, di tiap masalah yang menerpa pasti ada hikmah yang bisa diambil. Tapi, bukan berarti kita harus bisa melihatnya saat itu juga. Nggak ada salahnya kok merasa stuck atau terjebak di dalam situasi. Seringkali, kita baru bisa melihat sisi positif dari suatu masalah setelah berhasil melampauinya. Saat kamu nggak bisa melihat silver lining atau nilai positif dari kejadian yang menimpa, nggak usah dipaksakan, ya.
“Kamu harus banyak bersyukur. Masih ada yang lebih malang daripada kamu”: Yuk, ngacung! Siapa nih yang sering banget dengar kalimat satu ini saat sedang curhat? Bersyukur memang penting, karena itu bisa bikin hatimu jadi lebih ikhlas. Tapi, saat kamu menimpa masalah yang berat, seringkali tubuh dan pikiranmu sedang berusaha keras buat survive. Jadi, wajar aja kalau kamu merasa lelah dan mengeluh atas kejadian itu. Mengeluh bukanlah hal yang salah, justru itu manusiawi banget. Saat kamu ingin mengeluh, itu sebenarnya bukan tanda kamu nggak bersyukur. Melainkan, pikiran dan tubuhmu lelah dan perlu istirahat. Luangkan waktu buat sejenak mengistirahatkan jiwa dan pikiran, ya.
“Tuhan nggak pernah menguji di luar kemampuan HambaNya”: Sebenarnya, nggak ada yang salah dari kalimat ini. Inti dari kalimat ini adalah agar tetap berpikiran positif dan berusaha buat mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Di satu sisi, kalimat ini bisa bikin kamu percaya diri bahwa masalah yang sedang kamu hadapi pasti punya jalan keluar. Tapi, saat lagi stuck, kalimat satu ini justru bisa bikin down. Apalagi, kalau kamu sudah berusaha cari segala macam jalan keluar buat mengatasi masalah tersebut.
Wajar banget kok merasa putus asa saat ditimpa masalah. Itu bukan pertanda kamu lemah, cengeng, atau nggak percaya Tuhan. Kalau kamu sedang merasa terjebak dan ada di ambang batas kemampuan, istirahatlah. Kamu berhak banget buat itu.
Perkataan baik dan positif ternyata juga bisa toxic, ya? Jadi untuk menghindar dari toxic positivity, lebih baik kamu dengerin dan berempati aja saat teman atau sahabat lagi cerita. Atau bisa juga dengan menghibur mereka pakai cara lain. Kamu bisa kenalin mereka
paket internet Suka Suka dari AXIS yang bisa bebas pilih jenis paket internet hingga masa aktif yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bantu mereka mengekspresikan emosi lewat aplikasi-aplikasi yang seru dan menghibur supaya mereka bisa jadi diri sendiri.